Pedoman Penulisan Fonetik Bahasa Aceh

Penulisan fonetik dalam bahasa Aceh terbagi menjadi vokal, vokal sengau, diftong, dan konsonan.

Kegigihan Sang Teuku Umar dalam Memperjuangkan Kemerdekaan

Bagi penggemar sejarah tentu anda akan tertarik untuk membaca buku ini, sebagaimana buku ini mengisahkan tentang berbagai peristiwa panglima aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan...

Kebangkitan Bahasa dan Sastra Aceh

Harian Serambi Indonesia edisi, Jumat 16 Desember 2022 merilis berita dengan judul Mulai Dari Pemanfaatan Pangan Lokal Hingga Makna ‘Rateb Doda Idi’

Hermeneutika dan Positivisme Logis

Filsafat telah membawa perubahan yang begitu penting dalam dunia pendidikan.

Kebangkitan Bahasa dan Sastra Aceh


Kebangkitan Bahasa dan Sastra Aceh 


Harian Serambi Indonesia edisi, Jumat 16 Desember 2022 merilis berita dengan judul Mulai Dari Pemanfaatan Pangan Lokal Hingga Makna ‘Rateb Doda Idi’. Sebuah prestasi yang membanggakan kita semua kampus ‘Jantong Hatee Rakyat Aceh’, Universitas Syiah Kuala (USK) telah menghasilkan 118 guru besar/profesor. Tentu yang menarik bagi saya pribadi pada judul berita Serambi Indonesia tersebut adalah pengukuhan Yusri Yusuf sebagai profesor bidang bahasa dan sastra dengan riset berupa doda idi (syair pengantar tidur anak). 





Jika tahun sebelumnya (2021), terdapat 3 guru besar yang dikukuhkan oleh rektor USK dengan topik riset bahasa dan sastra Aceh. Prof Dr Moh. Harun M.Pd ditetapkan sebagai guru besar dengan riset berupa sastra Aceh. Selanjutnya, Prof Dr Yunisrina Qismullah Yusuf melakukan riset mendalam tentang variasi bunyi bahasa Inggris yang dihasilkan oleh para penutur Aceh. Terakhir, dengan riset berupa dialek yang terdapat di Aceh, rektor USK melantik Prof Dr Zulfadli A Aziz (Serambi Indonesia). 

Dalam dua tahun ini, sudah ada 4 guru besar yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) di USK dengan riset seputar bahasa dan sastra Aceh. Hal ini membuktikan bahwa bahasa dan sastra Aceh memiliki keunikan dan berpotensi besar untuk melahirkan para guru besar khususnya di Aceh, dan tidak terkecuali masyarakat internasional. Misalnya, Mark Durie seorang linguis dari University of Melbourne meneliti seputar morfologi (struktur bahasa) bahasa Aceh dan berhasil menerbitkan buku dengan judul Acehnese language (bahasa Aceh). Dalam bukunya tersebut memuat secara lengkap bagaimana struktur bahasa Aceh. Selanjutnya, linguis senior dari Aceh Abdul Ghani Asyik, berhasil menyelesaikan S-3 pada The University of Michigan dengan judul disertasi A Contextual Grammar of Acehnese Sentences. Dua tokoh tersebut telah membuktikan bahwa bahasa Aceh sangat menarik pada masyarakat internasional.  

Pendirian Prodi Bahasa dan Sastra Aceh di ISBI Aceh 
Wacana pembukaan program studi (Prodi) bahasa dan sastra Aceh telah lama digaung-gaungkan oleh para praktisi dan akademisi. Tujuan utama dari pendirian Prodi bahasa dan sastra Aceh adalah menjaga, melestarikan, dan membina bahasa dan sastra Aceh. Misalnya, rekomendasi dari Kongres Peradaban Aceh pada 2015 salah satunya adalah meminta perguruan tinggi untuk membuka program studi bahasa dan sastra 

Aceh. Akan tetapi, karena satu dan lain hal program studi bahasa dan sastra Aceh belum ada satupun perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan.  

Sebagai kampus dengan ciri khas seni dan budaya, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh mencoba melihat ini sebagai peluang dan kekhasan yang dimiliki oleh institusinya untuk menyelenggarakan program studi bahasa dan sastra Aceh. Keseriusan ISBI Aceh untuk membuka program studi bahasa dan sastra Aceh salah satunya terlihat dengan pelaksanaan focus group discussion (FGD) terkait penyusunan dokumen dan usulan program studi. 

Dalam FGD tersebut, penulis berkesempatan menjadi salah satu narasumber untuk memberikan masukan terkait dokumen untuk pengusulan program studi bahasa dan sastra Aceh. Kurikulum bahasa dan sastra Aceh yang disusun oleh ISBI Aceh benar-benar disusun berdasarkan kebutuhan dan realitas di lapangan. Hadirnya Prodi Bahasa dan Sastra Aceh diharapkan dapat melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina bahasa dan sastra Aceh. 

Peluang 
Pendirian program studi bahasa dan sastra Aceh pada ISBI Aceh akan menjadi tonggak kebangkitan bahasa Aceh. Apalagi saat ini Qanun Bahasa Aceh akan segera terbit. Rancangan Qanun tentang Bahasa Aceh dapat kita akses pada tautan https://dpra.acehprov.go.id/media/2022.08/rancangan_qanun_bahasa_aceh_rdpu1.pdf. Pendirian program studi bahasa Aceh diharapkan dapat melahirkan para linguis, peneliti, penerjemah, sastrawan, penulis, penyunting, dan penyuluh yang berkompeten. Tidak terkecuali, lulusan program studi bahasa dan satra Aceh akan menjadi guru bahasa Aceh setelah mengikuti program profesi guru. 

Program studi bahasa daerah sebenarnya telah diselenggarakan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Misalnya, Universitas Negeri Yogyakarta menyelenggarakan S-1 Pendidikan Bahasa Jawa. Tidak hanya jenjang S-1, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa justru membuka Prodi S-2 Pendidikan Bahasa Bali. Tentunya hal ini berbanding terbalik jika melihat fakta yang terdapat di Provinsi Aceh. Perguruan tinggi negeri ataupun perguruan tinggi swasta tidak ada satu pun yang menyelenggarakan program studi bahasa dan sastra Aceh. 

Dampak dari tidak adanya perguruan tinggi yang melahirkan sarjana bidang bahasa dan sastra Aceh, mata pelajaran bahasa Aceh cenderung diajarkan oleh sarjana yang tidak berkompeten bidang bahasa dan sastra Aceh. Sejatinya, untuk menjadi pengajar bahasa dan sastra, diharuskan memiliki kemampuan bidang linguistik yang mumpuni. 
Di samping itu, guru bahasa haruslah memiliki empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Apabila bahasa Aceh diajarkan oleh pengajar yang tidak berkompeten, tidak salah bahasa Aceh ragam tulis yang berkembang saat ini tidak ada yang standar. Untuk itu, sangat diperlukan guru yang mengajar bahasa Aceh adalah lulusan dari program studi bahasa dan sastra Aceh. 

Dukungan 
Kekhawatiran yang agak besar terkait pendirian program studi bahasa dan sastra Aceh adalah tidak adanya peminat dan lapangan kerja lulusan dari program studi bahasa Aceh. Hal ini sebenarnya dapat terbantahkan dengan kurikulum yang dimiliki oleh program studi. Setiap perguruan tinggi saat mengusulkan program studi tentunya harus memenuhi instrumen pemenuhan syarat minimum akreditasi program studi. Ada tiga hal yang paling mendasar terkait pendirian program studi, yakni kurikulum, dosen, dan unit pengelola program studi. Ketentuan tersebut sepenuhnya diatur dalam peraturan perundangan sehingga lulusan dari program studi benar-benar memiliki kompetensi sebagaimana capaian profil lulusan (CPO) pada program studi. 

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) sangat relevan dengan keadaan saat ini. Program studi yang akan diusulkan melalui kegiatan MBKM sangat mampu bersaing dan memperoleh pekerjaan karena telah dibekali pengetahuan dan pengalaman melalui kegiatan MBKM. Selain itu, program ini sepenuhnya didukung oleh pemerintah melalui 8 kegiatan MBKM, yakni (1) magang mahasiswa, (2) KKNT, (3) proyek kemanusiaan, (4) kegiatan wirausaha, (5) studi/proyek independen, (6) penelitian/riset, (7) pertukaran pelajar, dan (8) mengajar di sekolah. 

Sesuai dengan rancangan Qanun tentang Bahasa Aceh, pembinaan bahasa dan sastra Aceh secara eksplisit dijelaskan pada Pasal 15. Pada pasal tersebut diamanatkan bahwa pembinaan bahasa dan sastra Aceh meliputi (1) pengajaran pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, (2) penyelenggaraan kegiatan, (3) peningkatan kompetensi dan kuantitas guru Bahasa Aceh, (4) pengekspresian seni, (5) pembinaan komunitas dan sanggar, (6), penetapan hari tertentu untuk praktik penggunaan bagi seluruh lapisan masyarakat; dan (7) penetapan Hari dan Bulan Bahasa Aceh, Aksara Aceh, dan Sastra Aceh. Tidak terkecuali, pada ayat (4) Pasal 15 disebutkan mendorong dan mendukung pendirian Jurusan atau Program Studi Bahasa dan Sastra Aceh di perguruan tinggi. 

Kembali lagi pada bagian awal tulisan ini, sejak dua tahun terakhir sudah ada 4 profesor yang ditetapkan oleh Kemdikbudristek dalam kepakaran bahasa terkait riset bahasa dan sastra Aceh. Bahasa dan sastra Aceh merupakan khazanah kebahasaan yang dimiliki oleh seluruh warga Aceh. Melalui kegiatan tridarma kampus (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) diharapkan bahasa Aceh mendapat tempat di hati seluruh masyarakat Aceh. Ada puluhan bahkan ratusan yang berhasil memperoleh gelar sarjana, magister, bahkan doktor dengan riset bidang bahasa dan sastra Aceh. 

ISBI Aceh berhajat baik untuk membangkitkan bahasa dan sastra Aceh baik di level nasional maupun internasional. Hajat tersebut diwujudkan dengan pendirian program studi bahasa Aceh dan program studi sastra Aceh. Dukungan dan doa dari semua pihak sangat diharapkan agar pendirian program studi bahasa dan sastra Aceh ini dapat segera memperoleh izin dari Kemdikbudristek untuk penyelenggaraan program studi. Semoga lahirnya program studi bahasa dan sastra Aceh dari perguruan tinggi negeri ini menjadi kebanggaan kita semua. Semoga!
 

Sumber: Serambi Indonesia. Artikel selengkapnya dapat ditemukan pada tautan ini. 
 


Share: