Pantôn Aceh
Pantun merupakan bentuk puisi
Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yg
bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama
dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan
keempat merupakan isi (KBBI), begitu juga dalam karya sastra aceh dikenal juga
dengan pantun (Pantôn). Tak terlepas dari kaidah semantik, pantôn aceh
juga memiliki syarat yang sama halnya yang terdapat dalam pantun bahasa
Indonesia. Pembagian panton aceh juga dipisahkan antara umur penggunanya,
diantaranya (Pantôn Aneuk Miet, Pantôn Aneuk Muda, dan Pantôn Uréng Tuha).
Karya sastra aceh berupa pantun
ini tidak bisa dipisahkan dengan tempat penggunanya, orang aceh sendiri sangat
seksama menempatkan tempat dimana untuk membacakan pantun ini. Sehingga
digolongkan menjadi : (Pantôn mu ba e ( duka cita), Pantôn ayôn (meninabobokan
anak), aneuk, Pantôn uroe kiamat, Pantôn prang sabi, pantÔn
meuratoh, Pantôn meulayeng, Pantôn mehoi, Pantôn meusenda (jenaka),
Pantôn jaga tuloe (aneuk muda) Pantôn agama, Pantôn adat, Pantôn
nasihat). Maksud yang diutarakan dalam panton aceh juga beragam, dahulu
kala pantun ini digunakan untuk menyambut pasangan antar lintöé / dara baroé.
Mereka saling berbalasan pantun, jika salah satu diantara mereka tidak ada yang
kalah maka budaya berbalas pantun terus dilanjutkan hingga diantara mereka ada
yang kalah, jika si tuan rumah kalah ketika berbalas pantun maka tamunya
dipersilahkan masuk kerumah, namun adaikata si pengantar linto / darabaroe yang
kalah. Maka mereka tidak diperkenankan masuk kerumah, dan kembali pulang
kerumahnya. Namun mengingat banyak mudharat yang ditimbulkan budaya berbalas
pantun (séumapa) maka tradisi lama ini tidak dipakai dan lebih ditinggalkan,
meskipun ada, hanya sebatas membalas pantun biasa (Sastra Daerah Aceh )
Jika ditinjau dari tipologi
(bentuk penulisan) Pantôn aceh tidak ada yang menunjul selain tata
letaknya yang monoton tidak ada berubah disebabkan pantun aceh adalah karya
sastra lama (kontemporer). Namun ada satu sisi yang sangat menonjol dari
Pantôn aceh dengan pantun bahasa Indonesia, berupa sajak dan permainan
bunyi, jika pantun bahasa Indonesia
persajakannya
terdapat di akhir kata, namun pantun aceh selain di akhir kata, sajaknya juga
terdapat pada tengah kata itu sendiri. Sehingga yang membedakan antara pantun
aceh dan Indonesia bisa kita temukan dengan jelas ketika membacakannya.
Disisi
lainnya pantun aceh juga terdapat buhu, pakok (persajakan, permainan
bunyi), menjadi pola tersendiri bagi karya sastra aceh mengwajibkan menyisipi buhu,
pakök tersebut, bisa kita temukan dalam karya sastra aceh berupa (hikayat,
hiem, Pantôn, caé). Sebagai contoh saya sebutkan ; limong limong kapai
jitamong dua go limong kapai jibungka nyo hantrok
lon cot ngon reunong nyan bungong lon pupo geulawa (Pantôn
aneuk muda) pada akhir kalimat kata jitamong, bunyi ong berulang
kembali pada kalimat kedua di bagian tengah kata limong, selanjutnya
pada persajakan kata jitamong berulang di akhir kalimat ketiga pada kata
reunong. Pada persajakan selanjutnya, kalimat kedua berulang pada
persajakan kalimat ke empat. Diantarnya kata jibungka yang
terdapat pada akhir kalimat kedua berulang persajakan pada akhir kata kalimat
ke empat geulawa Menyangkut persajakan, pantun aceh mempunyai
pola persajakan yang sama dengan pantun yang digunakan dalam bahasa indonesia
(ab,ab, aa, aa).
sedikit susah membuat pantun aceh dibandingkan dengan pantun
bahasa Indonesia, pertama harus mencocokan persajakan pada awal di akhir kata
seterusnya kalimat dan di tengahnya untuk disesuaikan sajaknya, namun disitulah
terdapat perbedaan yang sangat penting untuk membedakannya. “Jika pantun bahasa
aceh menggunakan persajakan di akhir kata maka pantun tersebut tidak bisa
dikatakan pantun aceh, tetapi lebih tepatnya pantun Indonesia berbahasa aceh”. Rahmad
Nuthihar, Mahasiswa FKIP Unsyiah
0 komentar:
Post a Comment