Sastra Aceh telah berkembang seiring zaman perkembangan peradaban dan sejarah dari abad ke abad, dan baru dikenal (disalin) pada abad ke 14, namun sastra lisan telah berkembang sejak Aceh dikenal pada abad ke 9.
Jika ditilik perbedaan sejarah
sangat jauh jangka panjang antara lisan dan tulisan. Namun,, belum tentu hal
tersebut benar, mengingat tidak ada satu sejarapun mencatat perjalanan sastra
tersebut secara detail dan rapi, kita hanya dihadapkan pada naskah Manuskrip
Sejarah raja-raja Pasai yang menggambarkan keberadaan Kesultanan Pasai.
Bisa disebutkan bahwa Aceh
merupakan daerah pusat kebudayaan Islam sebab dari negeri ujung Sumatera pada
awal menyebarkan Islam di seluruh Nusantara, termasu didalamnya Malaysia dan
Pathani, paling tidak masih ditemukan di dua negara tersebut karya-karya para
ulama-ualam Aceh. Maka tak pelak, jika bumi Seuramoe Mekkah ini banyak mewariskan
beragam corak sastra Islami. Dari bumi serambi Mekkah juga asal muasal
pembaharuan sastra Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa perubahan
terhadap sastra Melayu Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan genre (cabang )
sastra klasik (classic literature).
Ciri-ciri umum karya sastra klasik adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu: a) bersifat anonim (tidak memiliki nama pengarang), b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan dari mulut ke mulut, c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, d) jika berupa puisi unsur ritma dan sajak lebih dominan.
Dalam ikon
puisi lama menurut Razali Cut Lani dalam karyanya berjudul Kesusastraan Aceh,
dikenal beberapa jenis sastra classic yaitu: narit maja (peribahasa), neurajah
(mantra), hiem (teka-teki), dan panton (pantun). Semua genre sastra tersebut
merupakan jenis sastra tertua dan purba dalam sejarah perkembangan sastra Aceh.
Untuk lebih jelas ihwal sastra kuno genre puisi ini akan saya bahas secara
runtut berikut ini:
1.Narit Maja (Peribahasa)
Dalam tradisi
masyarakat Aceh narit maja berfungsi sebagai pengendalian pranata sosial
(control sosial) dan sebagai sarana penyampaian pesan moral.
Dalam narit
maja juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti terdapat dalam narit
maja berikut: hana patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila.
Terjemahan bebasnya adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau
tidak senu tentu gila. Demikianlah peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai
keagamaan. Agar lebih jelas mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam narit
maja, baca: Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Narit Maja,
oleh: Iskandar
(Skripsi mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe) dan Struktur dan Fungsi
Narit Maja dalam Masyarakat Jambo Aye Aceh Utara, oleh: Hilmi Wilminar (Skripsi
Mahasiswa PBSID, FKIP, Universitas Syiah Kuala) dalam kedua karya ilmiah
tersebut membahas dan mengupas secara tuntas tentang narit maja.
Razali Cut Lani dalam Kesusastraan Aceh juga
telah membahas berbagai hal yang terlibat dalam peribahasa Aceh. Seperti unsur
flora dan fauna dalam narit maja, ekonomi, perdagangan, sosial, adat istiadat,
moral, keagamaan, kriminalitas, dan hal-hal lainnya secara runtun.
Kita ambil
salah satunya sebagai contoh perdagangan dalam narit maja. Misalnya terdapat
dalam narit maja berikut:
Tulak tong
tinggai tem. Arti bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng. Dalam
peribahasa ini mengandung pengertian bahwa dalam usaha dagang--jual
beli--setelah diperkirakan laba rugi dalam hal ini tidak ada yang diuntungkan,
tetapi hanya mencukupi modal saja.
Bidang
kriminalitas yang membawa dampak bagi hajat hidup orang banyak. Masyarakat Aceh
sering menyebut narit maja:
gop pajoh boh
panah/ tanyo yang meugeutah. Terjemahan bebasnya: orang yang
makan nangka, kita yang bergetah. Orang lain yang berbuat salah kita yang
mendapat efek dari kriminalitas tersebut. Dalam tulisan ringkas ini saya tidak
merincikan satu persatu narit maja tersebut, karena itu tugas pribadi anda
dirumah (PR).
2. Neurajah (Mantra)
Neurajah merupan
jenis sastra tertua setelah narit maja. Jika ada orang yang bertanya siapakah
pemilik puisi jenis mantra ini?. Maka jawabannya adalah pawanglah yang menjadi
penyair genre mantra, karena pada mulanya pawang mengucapkan mantra-mantra
untuk menjinakkan harimau, gajah, tawon, dan lain-lain.
3. Hiem (Teka - Teki)
Masyarakat Aceh
dalam keseharian sering kumpul bersam sanak keluarga dan kerabat untuk berteka
- teki sejenak. Teka - teki dalam masyarakat Aceh selain sebagai hiburan juga
menjadi arena asah otak, karena dalam teka - teki juga mengandung unsur
pendidikan. Walaupun unsur humor lebih dominan. contoh (kebe jak taloe dong)
4.Panton (Pantun)
Bagian terakhir
dari puisi classic Aceh adalah pantun. Puisi empat baris yang terdiri atas
sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut sampiran. Baris ke empat dan
lima namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki ciri-ciri sama.
Bersajak ab, ab. Sama halnya dengan narit maja, neurajah, dan hiem yang
sebenarnya juga terdapat dalam konteks ke-indonesia-an sastra. Cuma dalam tulisan
ini saya hanya membicarakan dalam corak sastra ke-Aceh-an.
Contoh pantun:
limong limong
kapai jitamong
dua go limong
kapai jibungka/
nyo hantrok lon
cot ngon reunong
nyan bungong
lon pupo geulawa
5. Cae’ atau syair adalah jenis puisi liris.
Sementara itu dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan prosa liris (hikayat), legenda, fabel, haba jameun (cerita rakyat/kabar zaman).
1. Hikayat adalah jenis prosa lama walaupun ada juga pakar sastra yang menyatakan bahwa hikayat itu jenis puisi liris, karena tipografinya seperti syair dan bersajak.
Jika dilihat dari unsur intrinsiknya hikayat
lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam hikayat lebih dominan ditunjang oleh
setting (latar), tokoh, watak (karakter), konfliks dll. Umumnya hikayat
bersifat istanasentris, dan cerita raja-raja. Namun ciri utama hikayat adalah
anonim (tidak memiliki nama pengarang) seperti umumnya sastra lama lainnya. Ada
juga beberapa hikayat yang memiliki nama pengarang seperti hikayat Prang Sabi
karya Teungku Syiek Pantee Kulu. Namun dalam tulisan ini saya tidak merujuk
kepada ciri umum hikayat. Di Aceh sarat akan hikayat warisan indatu misalnya :
hikayat Raja-Raja Pasai, dan hikayat Malem Diwa.
2. Legenda adalah jenis cerita turun temurun bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal nama daerah, asal mula sebuah pulau dan sebagainya).
Contoh: legenda Ahmad Rhangmanyang yang
menjadi pulau batu di Aceh Besar atau legenda si anak durhaka Malin Kundang di
Padang, Sumatera Barat, legenda Nyai Roro Kidul, Gunung Tankupan Perahu, Jaka
Tingkir (di Jawa), legenda Paya Terbang, legenda Raja Bakoi (di Aceh Utara),
puteri Pukes, Loyang Koro, Pengantin Atu Belah (di dataran Tinggi Gayo,
Takengon), dan legenda Tapak Tuan (di Aceh Selatan).
3. Fabel adalah cerita yang ditokohkan oleh binatang.
Jikapun
melibatkan tokoh manusia, namun tokoh binatang dalam cerita fabel lebih
dominan. Dalam fabel binatang menjadi aktor utama walaupun tanpa disutradarai
oleh manusia cerita tepap berjalan sukses. Karena memang demikianlah sebuah
fabel dikisahkan. Contoh fabel yang terkenal adalah Sang Kancil dan Harimau,
Lutung Kasarung, dan Kera Sakti.
4. Haba Jameun (cerita rakyat) adalah kabar zaman yang diriwatkan dari mulut kemulut. Secara turun temurun.
Jika ada cerita
rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik penghimpun.
Melainkan milik semua masyarakat dimana cerita rakyat tersebut berkembang.
Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau
editor buku tersebut. Seperti kumpulan Kabar Zaman Dari Aceh karya LK. Ara.
Cerita rakyat yang terkumpul dalam buku tersebut adalah milik masyarakat Aceh.
Tetapi LK.Ara sangat berjasa dengan menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam
Bahasa Indonesia.
Haba jameun
biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti berikut ini: bak jameun dile,
na sibak bak jambe di leun. Trep nibak trep broek rumoh tinggai sudep… na saboh
kisah, yang artinya: pada zaman dahulu ada sebatang pohon jambu di depan rumah.
Lama kelamaan rusak rumah tinggal panggang… ada sebuah kisah. Contoh haba
jameun : Abu Nawas dan Aneuk Yatim.
0 komentar:
Post a Comment